Studi HAdis
(Abu Rayyah dan kontroversi Pemikirannya)
Oleh
Alkadri, M.Ag
1. Pengantar
Setelah Rasulullah Saw wafat, umat Islam masa itu banyak mengalami berbagai persoalan hidup sebagai akibat dari pergerasan zaman. Diantara persoalan tersebut adalah pengumpulan Alquran dan pengumpulan Hadis. Pengumpulan Alquran umat Islam masa itu tidak banyak mengalami hambatan sebab Alquran pada masa Nabi sudah dicatat oleh masing-masing sahabat, mereka hanya mengumpulkan dan menyusun dari berbagai catatan Alquran untuk dijadikan dalam satu mushaf. Sedangkan Hadis lebih banyak dipelihara melalui hapalan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun perdagangan. Hal ini disebabkan pengkodifikasian Hadis banyak diriwayatkan secara ahad.[1] Ditambah, interval waktu yang cukup lama antara Nabi Muhammad Saw dengan para penghimpun Hadis, perbedan visi politik dan madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya pembuktian status Hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Jadi, untuk menghimpun berbagai Hadis diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; berupa kerangka ontologi dan epistemologi[2] yang akurat, agar yang dinamakan Hadis itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sejak abad 14 H sampai sekarang sering kali disebut-sebut sebagai era kebangkitan studi Hadis atau pemikiran Hadis yang telah mengalami masa kekosongan sekitar Abad 10 – 14 H. Kemudian diwarnai lagi dengan pesatnya perkembangan wacana keislaman, khususnya dalam bidang Hadis yang tidak terlepas dari maraknya gagasan-gagasan para orientalis[3] yang telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19 M, saat ketika hampir seluruh bagian dunia Islam terjerat dalam cengkraman kolonialisme bangsa Eropa.
Walhasil, argumentasi mereka yang berbeda dengan ide dan pemikiran ulama sebelumnya. Sisi positif dari kehadiran kaum orientalis mampu membuka mata dan menggerakkan para cendikiawan muslim untuk melakukan pembelaan atas fakta sebenarnya yang sering kali disamarkan oleh para orientalis. Sedangkan sisi negatif, tidak dapat dipungkiri banyak pula yang ikut dalam pemikiran yang mereka tawarkan. Hal ini juga banyak ditanggapi negatif oleh beberapa pihak yang menganggap gerakan ini sebagai aliran Inkar sunnah modern. Gerakan pembaharuan ini pertama kali di lontarkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Kemudian dikembangkan oleh Muhammad Abu Rayah.
Abu Rayah, sebagai tokoh yang dianggap sepaham dengan orientalis, walaupun ia sendiri tidak mengakui terpengaruh orientalis sebab dia tidak mengetahui bahasa lain selain Bahasa Arab. Karena karya Iqnaz Golzhiher yang berjudul Muhammedanische Studien, belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.[4]
2. Biografi Abu Rayyah.
Nama aslinya adalah Muhammad Abu Rayah atau lebih dikenal dengan Abu Rayah. Dilahirkan tahun 1889. Abu Rayyah tumbuh menjadi pemuda yang menyimpan kekaguman luar biasa terhadap Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, terutama gagasan-gagasan keduanya seputar penolakan terhadap taqlid, khususnya taqlid terhadap madzhab. Dia adalah salah satu tokoh intelektual muslim yang kontroversial yang berasal dari Mesir yang pemikirannya sering di kategorikan sebagai ingkar sunah modern. Pada usia muda Abu Rayyah mengikuti pendidikan pada Madrasah ad-Da’wah wal Irsyad yaitu lembaga dakwah yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Abu Rayyah juga mengikuti kursus teologi lokal.[5]
Konsentrasinya pada studi Hadis berawal ketika Abu Rayyah menemukan beberapa Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Hadis-hadis tersebut terkesan mengucapkan kata-kata ganjil dan kasar, membuatnya heran sebagai sabda-sabda yang konon berasal dari Nabi saw tidak memiliki retorika penuh bunga yang sering dijumpainya dalam berbagai tulisan-tulisan.
Kemudian, tahun 1958, Abu Rayyah menerbitkan sebuah buku yang ditujukan khusus pada kajian Hadis yang berjudul Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, akan tetapi, terbitnya buku ini justru menyulut protes kaum muslim konservatif, karena mereka menganggap pemikiran Abu Rayyah yang tertuang di dalam bukunya ini dinilai berseberangan, terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah sehingga mereka tergugah untuk memberikan respon atas tuduhan-tuduhan yang terdapat di dalamnya.
3. Pemikiran Abu Rayyah Seputar Hadis
Pada prinsipnya pemikiran Abu Rayah dalam memberikan definisi sunnah Nabi Muhammad Saw, memiliki pandangan yang sama dengan para ulama sebelumnya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Thaimiyah, al-Jarjani dan lain-lain. Bahwa Sunah adalah:
ما أضيف إلى النبى، من قول أو فعل أو تقرير.[6]
Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya.
Abu Rayah tidak menyangkal Hadis yang bernilai tinggi dari suatu keshahihan. Seandainya saja Hadis Nabi Saw, tanpa perubahan. Penelitian tarhadap enam kitab Hadis telah membuatnya yakin bahwa para ahli Hadis masih belum mengubah kritik sanad sebagai satu-satunya kritik terhadap Hadis, masih dipraktekkan selama ini sebagaimana yang telah dilakukan pada abad pertengahan. Para ahli Hadis tidak terlalu memperhatikan kritik terhadap matan Hadis, sebagai kriteria yang sah, apakah matan tersebut benar-benar layak atau tidak.[7]
Perbedaan yang mendasar antara Abu Rayah dengan Rasyid Ridha adalah terletak pada pandangan tentang integritas Abu Hurirah. Abu Rayah lebih keras mengkrititik Abu Hurairah yang lebih cendrung pada sikap apriori. Sedangkan Rasyid Ridha memberikan alasan dengan nada moderat sehingga dia jarang diserang dalam masalah-maslaah Hadis. Kata-kata Rasyid Ridha terkadang cendrung mencari solusi dari sebuah masalah. Ketika ia menemukan solusi yang memuaskan dirinya. Terkadang atas usulannya tersebut, membuat ia diserang oleh paham yang tidak sependapat dengannya.[8]
a. Kedudukan Sunah
Kedudukan sunah dalam Islam, Abu Rayyah mendudukan sebagai posisi kedua setelah Alquran sebab sistem periwayatannya secara mutawatir dan tertulis sehingga tidak mungkin terdapat keraguan atasnya, tetapi berbeda dengan sunah sebab sistem periwayatannya tidak dengan cara mutawatir sehingga mudah terjadinya keterputusan periwayatan dan materinya. Kemudian, Abu Rayah membagi sunah menjadi dua, yaitu sunnah qauliyyah dan sunnah amaliyah. Sunnah ’amaliyyah memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan sunnah qauliyyah, sebab sunah amaliah sudah jelas perbuatan tersebut dilakukan secara langsung oleh Rasulullah Saw, akan tetapi keduanya tetap sebagai sumber kedua setelah Alquran.[9]
b. Penulisan Hadis
Penulisan Hadis, Muhammad Abu Rayyah berkesimpulan bahwa penulisan Hadis pada masa Nabi Muhammad Saw dilarang.[10] Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw dalam riwayat Ahmad, Muslim, Darimi, Tirmidzi dan Nasa’i dari dari Abi Sa’id al-Khudri bersabda Rasulullah Saw:
Jangan kalian tulis sesuatu dariku sama dengan Alquran maka barangsiapa menulis tentangku selain Alquran maka hapuslah ia.
Selanjutnya, Abu Rayah mengutip dalam kitab tadzkirah al-Huffadz karya al-Dzahabi bahwa sesungguhnya kalian telah berbicara tentang Rasulullah Saw, Hadis Nabi Muhammad Saw yang kalian perselisihan didalamnya.[12]
Sedangkan Hadis yang berindikasi boleh menulis Hadis adalah sebagaimana sabda Nabi Saw:
Tulislah untuk Abi Syah
Abu Rayah berpandangan bahwa Hadis yang bisa digunakan adalah pelarangan menulis Hadis sebab Hadis ini datang belakangan dari Hadis yang memberikan izin penulisan Hadis, alasannya: (a) sahabat tidak menulis Hadis sebab adanya pelarangan ini setelah wafatnya Rasulullah Saw, sedangkan Hadis yang membolehkan menulis Hadis terjadi pada peristiwa fathul makkah dan khutbah Haji Wada’, (b) sahabat tidak membukukan dan menyebarkan Hadis. Seandainya mereka melakukan ini tentunya terdapat riwayat yang mutawatir yang menyatakan mereka telah melakukannya.[14]
Adapun pencatatan Hadis secara tekstual literatur Hadis sulit dipercaya sebab pencatatan terhadap Hadis dilakukan setelah dua ratus tahun. Berpegang pada cara pencatatan Hadis setelah dua ratus tahun. Ditambah lagi, setelah mengalami percampuran naskah dengan yang bukan Hadis.[15] Walaupun para ulama berusaha memilah dan memilihnya sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Musnad dan lain-lain.
Adapun hapalan di dalam pen-tadwin-an tersebut terdapat keganjilan. Sebagaimana yang dijelaskan terdahulu bahwa Hadis-hadis Saw tidak dicatat pada masa hidupnya juga tidak masa sahabat besar dan tabi’in. Jadi, pen-tadwin-an ini dibangun secara luas hanya pada pada abad ke 2 H atau akhir masa Bani Umayah, hanya berpegang pada hapalan. Hapalan tersebut sehingga terdapat keganjilan yang diperselisihkan.[16]
Lebih jauh, Muhammad Abu Rayah berpandangan bahwa karya ‘Abd Allah bin ‘Amr yang berjudul al-Sadiqah tidak ada artinya. Rayyah juga menuduh Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H) melakukan penulisan Hadis karena tekanan dari Bani Umayyah.[17]
c. Keadilan Sahabat.
Sahabat dalam periwayatan Hadis, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam. Jadi, yang dapat di anggap sebagai sahabat adalah mereka yang memenuhi criteria di bawah ini: (a) bertemu dengan Nabi Saw dan menerima dakwaknya (lama atau sebentar), (b) meriwayatkan Hadis dari Nabi Saw ataupun tidak, (c) Ikut berbaiat pada Nabi Saw ataupun tidak, (d) sempat melihat Nabi saw, sekalipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat Nabi karena sebab tertentu (seperti orang buta)[18]
Sedangkan yang dimaksud dengan adil dalam periwayatan Hadis adalah perawi yang dianggap dhabith (kuat hapalan), tidak ada illat (cacat) dan syadz (diragukan). Jadi, yang dimaksud dengan keadilan sahabat adalah setiap sahabat yang meriwayatkan Hadis, riwayatnya dianggap shahih terlepas dari dusta, kecacatan dan lain sebagainya.
Adapun mengenai keadilan sahabat, Muhammad Abu Rayyah memberikan pendapat yang menurutnya berkaitan dengan Hadis tentang:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [19]
Telah memberitakan pada kami Muhammad b. ‘Isya, telah menceritakan pada kami Husyaim, telah memberitakan pada kami Abu Zubair dari Jabir berkata, bersabda Rasulullah Saw: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka tempatnya neraka.
Menurutnya kata مُتَعَمِّدًا (dengan sengaja) dalam Hadis tersebut, tidak terdapat dalam berbgaai versi lain yang sampai kepada kita dari para sahabat besar. Abu Rayyah menyatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj[20] dengan alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, sebab secara tidak disengaja mereka telah mereka telah menduga sabda Nabi Muhammad saw, atau mereka yang telah menduga-duga perihal tentang Nabi Muhammad saw dengan alasan memajukan jalan Islam.[21] Lafaz مُتَعَمِّدًا dalam Hadis tersebut lemah sesungguhnya ia tidak kuat dalam riwayat sahabat besar. Demi Allah tidak mengatakan مُتَعَمِّدًا (denga sengaja) dari periwayat Imam Hadis dan tidak mengatakan seorangpun dari mereka sesungguhnya ini kecuali Ibnu Zubair.[22]
Semua ini ditujukan untuk menyatakan bahwa suatu kidzb (kebohongan) telah terjadi dikalangan para sahabat. Jika memang demikian adanya maka semua Hadis dari mereka harus diuji. Sedangkan hal itu tidak mungkin. Argumen lain yang coba dikemukakan untuk mengugurkan sistem keadilan secara kolektif para sahabat adalah adanya perdebatan para sahabat yang terjadi karena adanya kecurigaan terhadap pemalsuan dan bertambahnya Hadis.[23]
d. Kritik terhadap Abu Hurairah
Abu Rayyah menggugat integritas Abu Hurairah[24] sebagai perawi dengan berbagai tuduhan, diantaranya adalah ia terlalu banyak meriwayatkan (lebih dari lima ribu Hadis) apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Nabi saw dalam waktu yang singkat. Ia hanya bersama Nabi sekitar tiga tahun, sebagian besar Hadisnya ia tidak mendengar dari Nabi secara langsung akan tetapi ia mendengar dari sahabat dan tabi’in. Apabila setiap sahabat dinyatakan adil sebagaimana jumhur ulama Hadis maka para tabi’in juga sama demikian adanya.[25]
Diantara Hadis dari Abu Hurairah yang dianggap Abu Rayah ganjil sebab tidak memiliki retorika untuk diterima yang mengatasnamakan Nabi yaitu:
عن أَبُى هُرَيْرَةَ إِذَا نودى للصَّلاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قضى الْتُأذّيِنُ أَقْبَلَ حتى ثوب بالصلاة أدبر حتى إذا قضى التثويب أقبل حتى يخطر بين المرء ونفسه [26]
Dari Abu Hurairah, apabila diserukan shalat maka syetan pun lari sampai terkentut-kentut sehingga ia tidak mendengar adzan, apabila telah selesai adzan maka dia datang. Kemudian, ketika ia kembali melakukan shalat maka syetan pun lari, apabila selesai seruan shalat ia kembali sehingga jelas sama antara orang tersebut dan dirinya.
Abu Rayyah mengingatkan bahwa Abu Hurairah masuk Islam ketika ia bergabung bersama Nabi saw dalam peristiwa Khaibar pada tahun 7 H/ 629 M, ini dapat ditemukan dalam berbagai sumber. Abu Hurairah juga dituduh sebagai seorang pemalas yang tidak memiliki pekerjaan tetap selain mengikuti Nabi saw. kemanapun beliau pergi, juga merupakan orang yang rakus terutama setelah beliau mendapatkan posisi penting sebagai gubernur pada masa dinasti Bani Umaiyah.
4. Bantahan Ulama
Ulama konservatif pada masa ini tidak sependapat dengan Abu Rayyah. Periwayatan secara lisan yang akhirnya terwujudlah himpunan Hadis-hadis Shahih Bukhari, Muslim dan lain-lain, merupakan metode yang hampir tidak ada cacatnya untuk melestarikan kesucian materi Hadis.[27] Adapun bantahan terhadap Abu Rayah tersebut terdiri dari:
a. Penulisan Hadis
Tadwin Hadis atau koodifikasi Hadis adalah proses pembukuan Hadis secara resmi yang dilakukan atas instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah Bani Umayyah yang ke-8, memerintah dari tahun 99 H sampai 101 H. Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dalam memelihara Hadis. Untuk itulah, beliau mengirimkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang Hafal Hadis, menuliskannya dan membukukannya agar tidak ada Hadis yang hilang pada masa-masa sesudahnya. Dalam suratnya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, yaitu: Perhatikanlah, apa yang bisa diambil dari Hadis Rasulullah Saw, Hadis Amrah[28] atau yang semisal dengannya lalu tulislah. Sesungguhnya saya takut akan lenyapnya ilmu (Hadis) dengan meninggalnya para ulama.[29]
Di samping itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya di seluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya serupa dengan isi suratnya kepada Ibn Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya adalah seorang alim dari Hijaz bernama Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri al-Madani yang menghimpun Hadis dalam sebuah kitab.
Tadwin Hadis yang diinstruksikan oleh Umar bin Abdul Aziz adalah pen-tadwin-an secara resmi. Sedangkan penulisan Hadis yang tidak resmi sudah ada pada masa sebelumnya. Lebih khusus lagi, masa Rasulullah Saw masih hidup terdapat beberapa sahabat yang menulis dan menyimpan Hadis dalam lembaran-lembaran. Keadaan ini terlihat dari surat menyurat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sedangkan diantara sahabat yang menulis Hadis seperti Abdullah bin ‘Amr bin al-’As (w.65 H/685 M), Abdullah bin ‘Abbas (w.68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa’ (w.86 H). Hal ini bukan berarti seluruh Hadis telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut, penulisan Hadis ini sifatnya untuk kepentingan pribadi.
Secara umum, periwayatan Hadis masa Nabi Muhammad saw, banyak dilakukan dengan cara hafalan dan terjadi secara alamiah. Adapun teknis penyampaian Hadis masa Nabi ada dua yaitu: Hadis yang disampaikan secara langsung berupa ceramah, pidato dan sikap Nabi Saw sendiri. Hadis disampaikan tidak langsung berupa sahabat yang menyampaikan Hadis.
Pada generasi berikutnya, Hadis-hadis yang ada pada para sahabat, kemudian diterima oleh para tabi’in sehingga memungkinkan terjadinya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafaz yang diterima dari Nabi Muhammad Saw disebut periwayatan secara lafaz dan ada periwayatan redaksinya beda hanya mengambil makna atau maksud Hadis, disebut dengan periwayatan secara makna. Oleh karena, pada masa Nabi Saw Hadis tidak populer untuk ditulis dan hanya cendrung berdasarkan hapalan saja sehingga pada generasi berikutnya tidak seluruh Hadis Nabi Muhammad Saw dapat terdokumentasi pada masa Nabi secara keseluruhan.
Adapun bantahan atas pendapat Abu Rayah tentang menulis Hadis dilarang. Menurut M. Azami pendapat ini tidak benar alasannya: (a) Para ulama Hadis seperti al-Dzahabi dan Ibnu Kastir menilai riwayat tersebut lemah,[30] (b) dalam sanadnya terdapat nama Ali b. Shahih dan tidak diketahui identitasnya. Sehingga masih perlu dilakukan peninjaun ulang, (c) Abu Bakar sendiri menulis Hadis, (d) Abu Bakar adalah orang yang paling dekat dengan Nabi Saw, jika beliau hendak menulis Hadis, maka tidak perlu bantuan orang lain sebagai perantara. Seandainya Nabi melarang menulis Hadis secara mutlak tentunya Abu Bakar tidak menulis Hadis. Adapun sebab Abu Bakar membakar Hadisnya menghindari kekeliruan. Jadi, kekhawatiran Abu Bakar ini tidak bisa dijadikan alasan terjadinya pelarangan penulisan Hadis.[31]
Sebenarnya, masalah pokok yang menyebabkan pembukuan Hadis terlambat adalah sampai seratus tahun lebih adalah kerena generasi terdahulu lebih cendrung mengikuti pendapat yang populer dikalangan mereka, tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah ditulis pada masa awal.[32]
Sedangkan Hadis Nabi tidak ditulis kecuali atas perintah (tekanan) penguasa masa tersebut (khalifah Umar b. Abdul Aziz) tidak benar dan tuduhan terhadap sahabat tidak menulis Hadis sehingga tidak ada catatan mereka yang diketahui oleh tabi’in begitu juga sebaliknya tabi’in tidak menulis Hadis kecuali atas perintah penguasa. Kedua tuduhan tersebut tidak benar. Tuduhannya hanya berangkat dari ketidakpahaman mereka terhadap kitab Hadis dan ungkapan ahli Hadis sebab dalam mengajarkan Hadis para ahli Hadis hanya menyebut pengarangnya saja tanpa menyebut nama kitabnya.
Tuduhan terhadap al-Zuhri yang melakukan penulisan Hadis karena tekanan dari Bani Umayyah tersebut, sama sekali tidak menggugurkan keotentikkan Hadis dan mengindikasikan adanya dorongan untuk memalsukan Hadis, tetapi justru menunjukkan bahwa mata rantai pemeliharaan dan pelestarian Hadis berjalan berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak mengizinkan adanya ruang keraguan lagi.[33]
Selanjutnya, pada hakekatnya penyebarluasan Hadis sama halnya dengan penyebarluasan Alquran dengan menggunakan metode hapalan dan tulisan. Sedangkan pengajaran Alquran itu sendiri dilakukan oleh yang diberi tugas oleh pemerintah atau secara suka rela. Jadi, cara-cara seperti ini juga digunakan untuk menyebarluaskan Hadis-hadis Nabi Saw.[34]
b. Keadilan sahabat
Seluruh sahabat adalah orang yang adil dan dhabit. Ibn Hajar menyatakan tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali sedikit orang yang tidak setuju. Oleh sebab itu, wajib bagi muslimin untuk menyakini sikap sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa seluruh sahabat adalah ahli surga, tak seorangpun dari mereka yang akan masuk neraka.[35]
Para sahabat Nabi Saw mendapat keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh manusia secara umum, berupa keadilan mereka tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Semua mereka adil dan keadilan mereka berdasarkan firman Allah Swt yaitu:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ [36]
Demikianlah kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membangkang, sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Kemudian, firman Allah Swt:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[37]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Kedua ayat ini berkaitan dengan seluruh sahabat Nabi sebab mereka yang langsung diseru dan menerangkan keutamaan sahabat dan menyaksikan keadilan mereka.
c. Abu Hurairah
Abu Hurairah nama aslinya adalah Abdul Rahman b. Skhr. Seorang sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan Hadis. Pada masa penaklukan khaibar (bulan Muharram tahun 7 H), ia datang ke Madinah untuk menyatakan dirinya masuk Islam, semenjak itu ia selalu bersama Nabi dan menjadi pelayannya sehingga kesempatan untuk mendengar dan menyaksikan perilaku Nabi Saw terbuka luas baginya. Oleh sebab itu tidak heran jika dalam kurun waktu yang singkat sekitar tiga tahun ia bersama Nabi Saw, tetapi paling banyak meriwayatkan Hadis. Selain itu, ia juga banyak meriwayatkan Hadis dari Abu Bakar, Umar, Ubai b. Ka’ab Usamah b. Zaid (putra Ummu Aiman; pengasuh Nabi Saw) Nadrah b. Abi Nadrah Ka’ab b. Al-Ahbar dan Aisyah b. Abu Bakar. Jadi, jumlah Hadis yang diriwayatkannya sebanyak 5.374 buah sebagaimana menurut Baqi b. Makhlad dalam Musnadnya.
Dalam bidang politik ia tidak begitu banyak berperan hanya saja sekitar dua tahun menjadi gubernur di Bahrain (21-23 H), pada masa ini terjadi polemik antara muawiyah dengan Umar b. Khatab tetapi Abu Hurairah sendiri bersikap netral.
Kelebihan lain adalah kekuatan dalam hapalan. Dia tergolong sahabat yang paling banyak menghapal Hadis pada masanya, hal ini terjadi berkat do’a Nabi Muhammad Saw sebab sebelumnya ia tergolong orang yang pelupa sebagaimana dinyatakan oleh Bukhari.[38]
5. Penutup
Berangkat dari ketidak puasan Abu Rayah terhadap metode dan perkembangan keilmuan yang ada pada masanya, ia merasa perlu adanya perubahan dan perombakan besar-besaran, terutama dalam hal pola berpikir mengingat pada saat yang sama Abu Rayyah juga ternyata pengikut setia Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ternyata Abu Rayyah terjebak dalam beberapa spekulasi yang secara tidak sengaja juga dilancarkan oleh para orientalis.
Abu Rayyah berupaya menyajikan penulisan sejarah Hadis melalui karya-karyanya, sebab ia menjadikan sejarah sebagai pendekata dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri Hadis. Kritik atas integritas sahabat, ini juga harus banyak dipikirkan ulang terutama yang sepaham dengannya, sebab banyak faktor dan permasalahan masa lalu yang belum terungkap.
Kritik terhadap integritas sahabat, terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut terkait dengan berbagai permasalah umat pada generasi terdahulu meliputi, perbedaaan mazhab, politik dan lain-lain. Perbedaan tersebut menimbulkan dua kaidah tentang sahabat ini. Pertama, kaidah semua sahabat Nabi Saw adil. Kedua, kritik pada generasi terdahulu terhadap keadilannya.
Adapun, kaidah bahwa semua sahabat adil merupakan penafsiran terhadap teks ayat di atas yang menyatakan pujian terhadap para sahabat, juga larangan untuk mencelanya. Jadi, keberlakuan kaidah tersebut harus dibatasi, tidak bisa melebihi nash yang sudah ada sebab latar belakang kemunculan kaidah ini adalah tujuan utamanya adalah membantu kelengkapan pemahaman terhadap dalil nagli tetapi bukan untuk menentangnya. Tetapi, perlu adanya kepastian nash yang mana bertentangan dengan syari’at tidak perlu diikuti, sebab sahabat itu sendiri adalah manusia biasa. Seandainya, dalam periwatan Hadis terdapat kekeliruan merupakan sunnatullah, atas sifat manusia itu sendiri.
Sejarah mencatat, Abu Bakar dan Umar pernah salah yaitu menetapkan syari’at Islam yang mendahului Nabi Muhammad Saw, kemudian ditegur Allah sebagaimana firmannya yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [39]
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului ketetapan Allah dan Rasul-Nya, bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mendengar.
Kaidah kedua, yaitu kritik pada generasi terhadulu atas keadilannya. Ini merupakan metode untuk menguji keshahihan Hadis dari segi kritik sanadnya, selain tabi’in sahabat pun juga diuji keadilannya.
Berdasarkan kaidah tersebut dapat diambil pemahaman bahwa, semua sahabat adil ini sifatnya berlaku umum. Tetapi tidak berlaku khusus, sebab walaupun bagaimanapun sahabat adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekeliruan.
[1].Ibnu Hajar Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, (Mesir: Maktabah al-Qadiriyah, t.t.), hlm.4.
[2].Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, terdiri dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran/ilmu pengetahuan. Sedangkan istilah, Ontologi adalah ilmu yang menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari mana asal dan sumber pengetahuan tersebut. Jadi, ontologi Hadis bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan kongkrit sumber Hadis itu berasal secara kritis. Epistemologi, berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu episteme berarti pengetahuan dan logos berarti kata/pembicaraan/ilmu. Jadi, epistemologi termasuk kajian cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Epistemologi Hadis yang dimaksudkan di sini adalah pembahasan kualitas suatu Hadis dilihat dari berbagai aspek, melalui kritik sanad, matan serta asbabul wurud mikro dan makro.
[3].Diantara para tokoh orientalis yaitu: Alois Sprenger (1813-1893 M), Wiliam Muir (lahir 1819 M), Iqnas Golzhiher (wafat 1921 M), David Samuel Morgaliauth (1885-1940 M), Alfred Guillaume, Henri Lammens (1962-1937 M), Leone Caetani, Joseph Horovitz (1874-1931), Gregor Schoeler, David Power, Uri Rubin, Crone, Norman Calder (wafat 1998). Gautier H.A. Juynboll (lahir 1935).
[4] Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Moder Egypt, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ke-1, hlm. 61. Dalam Koran Mesir, Al-Jumhuriyyah, 25 November 1958.
[5] Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Moder Egypt, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ke-1, hlm. 59.
[6]. Muhammad Abu Rayah, Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1377 H – 1957 M), hlm. 38-39.
[7] Juynboll, op.cit., hlm. 61
[8] Ibid,. hlm. 62
[9] Ibid. Hlm. 39.
[10] Muhammad Abu Rayah, op.cit,. hlm. 23
[11] Dalam catatan kitabnya dinyatakan semua bentuk Hadis ini disepakati hanya secara makna. Sedangkan lafaznya bervariasi. Ibid,. hlm. 46. Hadis dengan redaksi variasi lain terdapat tetapi maknanya sama, sebagaimana dalam riwayat Ahmad (3/39, No. 11362), Muslim (4/2298, No. 3004), Abu Ya’la (2/416, No. 1209), Darimi (1/130, No. 450), Ibnu Hibban (14/147, No. 6254).
[12] Muhammad Abu Rayah, Ibid,. Dalam Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadz, hlm. 3.
[13] Terdapat dalam riwayat Bukhari Kitab al-luqathah, No. Hadis 2254, Muslim, Kitab al-Hajj, No. Hadis 2414, Tirmidzi, Kitab al-‘ilm ‘an Rasulullah, No. Hadis 2591, Abu Dawud, Kitab al-’Ilm, No. Hadis 3164.
[14] Muhammad Abu Rayah, op.cit,. hlm. 48. Dalam M.M. Azami, Studies in Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 337.
[15] Muhammad Abu Rayah, Ibid,. hlm. 266
[16] Ibid.
[17] Ibid,. hlm. 22.
[18] Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 101-102.
[19]Abdullah b. ‘Abdul al-Rahman, Sunan al-Darimi, (Riyadh: Dar al-Mughny, 1420 H), Kitab al-Muqaddimah, Hadis No. 237, hlm. 303-304. Dalam cacatan kaki kitabnya, Muhammad Abu Rayah menyatakan terjadi perdebatan bentuk Hadis ini ada yang mereka terima periwayatan secara berbagai Hadis secara makna sebagaimana disembunyikan dalam Kitab ini, Insya Allah. Muhammad Abu Rayah, op.cit., hlm. 61.
[20]Idraj adalah sisipan kata yang terdapat dalam matan Hadis. Idraj terjadi dengan tujuan memberikan penjelasan terhadap lafaz matan (teks) Hadis yang sulit, hukum-hukum tertentu atau mengambil hukum dari Hadis Nabi Muhammad Saw. Tujuan ini menyebabkan dibolehkannya terjadinya idraj dalam Hadis dengan cacatan bahwa redaksi idraj tersebut benar-benar diketahui bukan dari Nabi Muhammad Saw. Di luar tujuan tersebut, idraj dikum haram dan Hadisnya menjadi dha’if.
[22]Lihat cacatan kaki, ibid,. hlm 62
[23]Juynboll, op.cit,. hlm. 83-84.
[24]Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia lahir 21 tahun sebelum Hijriah, sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdu al-Syams (hamba matahari), ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing, ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, kemudian setelah masuk Islam baru dinikahinya. Tatkala menjadi muslim, ia bersama Thufail bin Amr berangkat ke Makkah, Nabi Muhammad Saw mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha Pengasih). Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi muslim, sebelum bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Ia selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi tahun 632 di Madinah.
[25]Muhammad Abu Rayah,op.cit,. hlm. 218-219.
[26]Ibid,. hlm. 226. Dalam berbagai riwayat Hadis terdapat redaksi matan yang berbeda tetapi maksud dari matannya sama. Tambahan teks Hadis tersebut yang berarti, ketika sudah jelas bagi syetan untuk menyatu ke dalam diri seseorang sehingga membuat orang tersebut tidak mengetahui berapa jumlah rakaat shalatnya. Hadis terdapat dalam riwayat Ibnu Hibban, bab shifat Shalat. Shahih Muslim, bab Fadh al-adzan wa harb. Musnad Abi Ya’la, bab al-Targhib fi al-adzan wa al-dalil. Muwatha’ Malik, bab Maja`a fi Nida` li al-shalah. Musnad Shahabah fi al-Kitab al-Sitah, bab Musnad ‘Abdul Rahman Abd Sakhr (Abi Hurairah). Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Yufkir al-Rajul al-Syai’ Fi al-Shalah.
[27]Juynboll, op.cit,. hlm. 76.
[28]Yang dimaksudkan dengan Amrah di sini adalah Amrah binti Abdurrahman al Anshari. Dalam sebagian riwayat, nama Amrah digabungkan dengan nama al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
[29]Muhammad Abu Syahbah, Difa’ ‘an al-Sunah, (Qahirah: Maktabah al-Sunah, 1409 H – 1989 M ), Hlm. 21-22.
[30]Dalam catatan kaki bukunya M.M. Azami menyatakan bahwa Abu Rayah merujuk pada Kitab Tadzkirah al-Hufadz karangan al-Dzahabi, tetapi kata-kata Dzahabi sendiri tidak disebutkan, juga ia tidak menukilkan pendapat al-Baghdadi, oleh sebab itu ia keliru. M.M. Azami, op.cit,. hlm. 133.
[33]Mushthafa al-Siba‘i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terj. Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.), hlm. 132.
[34]M.M. Azami, op.cit,. hlm. 119.
[35]Ibn Hajar al-Asqalani, op.cit,. hlm. 9-10.
[36]Alquran Surah al-Baqarah ayat 143.
[37]Maksudnya, pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka.
[38]Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits (Kajian Riwayah dan Dirayah), Cetakan kelima (Edisi Baru) Bandung, CV. Mimbar Pustaka, 2008, hlm. 237-238.
[39] Alquran Surah al-Hujurat ayat 1